Akhir Kata Teman

Aku baru saja terbangun dari tidur nyenyakku. Saat kubuka jendela kamarku, kulihat pemandangan yang sudah tak asing lagi. Lewat jendela kamarku, terlihat sebuah jembatan bekas rel kereta api, 16 meter diatas sungai tadah hujan. Sejak dua minggu yang lalu, jembatan itu selalu terhiasi oleh pemandangan seorang gadis berseragam SMA yang berdiri memandangi sungai.
Hari masih subuh, tapi gadis itu sudah disana. Dua minggu yang lalu, pada jam yang sama, sangat heran aku melihat sesosok perempuan seumuran denganku berdiri memandangi sungai, seperti mau bunuh diri. Namun, aku tak berani mendatanginya. Mungkin ia hanya ingin bernostalgia atau mencari inspirasi. Saat aku akan berangkat sekolah, gadis itu sudah lenyap seakan dimakan oleh gemerlap mentari yang telah melewati ufuk timur.
Sekarang, dua minggu kemudian, pemandangan gadis itu kerap menghiasi pandanganku kala kubuka jendela kamarku di subuh segar kota ini. Sudah menjadi pemandangan biasa buatku. Namun, semakin lama dia ada disana, semakin membuatku penasaran. Mengapa dia ada disana? Apa yang dia lakukan?
Semakin hari, semakin ingin kuungkap rahasia tentang gadis itu. Beribu pertanyaan menggaung di otakku, ingin segera dilepaskan. Pagi ini, kuberanikan diriku untuk menghampirinya. Ini sudah genap satu bulan dia berdiri mematung disana. Hari ini aku bangun lebih pagi. Setelah mandi, kupandang keluar jendela kamarku, dia disana. Dengan semangat yang membara – hingga membuatku bergetar dan berkeringat  di subuh yang dingin ini – aku menghampirinya.
Dari dekat, dia terlihat sangat cantik. Kulitnya putih bak marmer, bibirnya lembut dan mungil berwarna merah muda. Sayang dia cemberut. Aku yakin, kalau dia tersenyum, siapa saja akan terpikat dengan pesonanya.
Kusapa dia. Tak ada jawaban. Dia bahkan tidak menolehkan wajahnya untuk mengetahui siapa yang menyapanya. Bahkan, sepertinya dia tidak peduli aku ada atau tidak. Kusapa sekali lagi, tetap tak ada respon. Kusapa lagi untuk ketiga kalinya, kali ini dia menoleh. Kalau dari samping dia terlihat sangat cantik. Kini saat terlihat seluruh wajahnya, siapa saja – aku yakin – akan terpana melihat keelokan nan sempurna pemberian Tuhan ini.
Dia menatapku, tanpa rasa, tanpa emosi. Pandangannya kosong dan menerawang. Ada apa dengannya? Kutanya dia dengan penuh perhatian. Entah kenapa, begitu aku berada di dekatnya, timbul rasa sayang. Atau mungkin ini hanya rasa kasihan? Entahlah. Yang jelas aku sangat ingin menyelam ke dasar hatinya. Dia tidak menjawab pertanyaanku, malah kembali memandangi sungai. Maka kutanya lagi, apakah dia punya masalah? Diam jawabnya.
Tak kenal putus asa, aku menanyainya hal yang sama. Sepuluh kali aku bertanya dan tidak satupun kata keluar dari bibirnya. Bahkan, pandangannya yang hampa tetap menghiasi wajahnya hingga ia menengok jam tangannya dan pergi meninggalkanku tanpa pamit, tanpa sapa.
Ada apa dengannya? Apakah dia punya masalah? Pertanyaan itu terus berputar di otakku. Tak kuasa aku menahan rasa penasaran, maka kuhampiri lagi dia esok paginya. Namun, hasil yang kudapat tetap sama. Begitu seterusnya hingga satu minggu kemudian.
Saat kusapa dia, dia langsung memandang awan. Pandangan yang berbeda dari sebelumnya. Tidak lagi hampa, kali ini penuh makna.
‘Aku memang sedang banyak masalah’
Itu katanya setelah aku berada disampingnya dan menyapanya.
‘Kalau boleh tahu, apa sebenarnya masalahmu?’
Tanyaku.
‘Sejak lebih dari sebulan yang lalu aku kemari. Tujuan utamaku adalah bunuh diri. Aku tahu, kalau melompat dari sini pasti akan mati. Lihat saja batu-batu di bawah sana, lagipula airnya hanya sedikit. Tapi, begitu sampai disini aku takut. Bagaimana rasanya mati? Apakah sakit? Apa yang harus kukatakan pada Tuhan nanti? Bagaimana kalau Tuhan memasukkanku ke neraka?’
Jadi itu sebabnya dia terus-terusan memandangi sungai di bawah itu. Dia takut. Atau mungkin, dia sedang mempersiapkan diri?
‘Apa masalahmu sangat besar? Mengapa sampai mau bunuh diri?’
‘Bulan lalu papa meninggal karena overdosis. Mama yang sedang dirawat di rumah sakit karena jantungnya kumat, mendengar kabar ini. Mama sangat shock. Tiga hari beliau koma, kemudian menyusul papa ke sisi Tuhan. Sehari sebelum papa meninggal, aku merasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Apalagi aku sudah tidak menstruasi selama dua bulan. Aku sangat cemas. Kecemasanku itu terjawab setelah aku mengetes urine-ku, aku positif hamil. Mendengar kabar ini, pacarku mengelak. Dia berkata saat itu aku sudah tidak perawan, janin ini bisa saja hasil dengan orang lain. Dia sangat tega, padahal aku baru melakukannya dengan dia. Tak elak lagi kami putus. Sebenarnya aku tidak mau, aku butuh ayah untuk anakku, tapi dia memaksa.’
Sungguh tragis kisah hidupnya. Tuhan memberi cobaan yang begitu berat padanya. Tak heran kalau dia bersimbah air mata begitu. Akupun sangat kaget mendengar ceritanya, sampai tidak bisa berkata-kata. Lalu dia melanjutkan ceritanya.
‘Kini aku hidup seorang diri. Kamu pasti bisa membayangkan susahnya. Ternyata, orang tuaku tidak memiliki tabungan yang mencukupi. Sekarang saja sudah habis. Setelah ini aku harus hidup dengan apa, coba? Ada janin ini, juga!’
Dia memukul perutnya sendiri.
‘Teman-teman sekolahku tidak ada yang peduli padaku. Beberapa dari mereka yang mengetahui kehamilanku malah berkata aku ini wanita jalang, cewek murahan, pelacur! Sahabat-sahabatku juga perlahan menjauh dariku. Apalagi pacarku, dia malah pura-pura tidak mengenaliku. Semua itu sudah cukup berat buatku, tapi ternyata masih ditambah dengan cemoohan para tetangga dan keluargaku. Aku kini sebatang kara dan sengsara. Padahal dua bulan yang lalu aku menganggap bahwa akulah orang yang paling beruntung di dunia ini.
Dan kau tahu? Kemarin adalah hari terakhir aku bersekolah. Pacarku sendiri yang memberitahu kepala sekolah bahwa aku hamil, bahwa ayahku adalah junkies yang mati OD, dan ibuku seorang rentenir yang juga telah meninggal. Buruk banget, kan? Ternyata aku memang dilahirkan tidak untuk disayangi. Kemarin aku dikeluarkan dari sekolah tanpa bisa membela diri.’
Tanpa sadar, butir-butir air mata jatuh di pipiku dan menetes ke kaosku. Hatiku serasa ditusuk seribu belati. Ternyata dunia ini kejam! Kenapa tidak ada yang mau membantu saudaranya yang sedang diberi cobaan berat? Dia menunduk, menangis, sambil meremas besi yang menjadi penghalang dia dari keinginan melompat ke sungai.
‘Aku bisa membantumu.’
Bergetar suaraku mengucapkannya. Tapi benar, ini datangnya dari hati. Aku benar-benar ingin menolongnya.
‘Terima kasih’
Katanya singkat. Namun, dia seperti memiliki harapan baru. Wajahnya terlihat lebih bersinar saat menoleh ke arahku, dan dia tersenyum padaku. Senyum yang sangat tulus, yang aku tahu itu datangnya dari hati. Dia nampak sangat cantik, walau pipinya merona dan matanya basah karena tangis. Sungguh, dia bagai malaikat. Seandainya dia tidak menangis, dia akan tampak sempurna. Sebuah karya Tuhan Maha Agung yang dilahirkan tanpa cacat atau salah.
Aku memeluknya. Ingin rasanya aku mengambil sebagian luka hatinya. Ini pasti sangat berat buatnya. Setelah tangisnya mereda, kuajak dia ke rumah tempat tinggalku selama dua tahun ini. Dia menurut saat kuajak berjalan. Namun, ketika kami tiba di depan rumah induk semangku, dia menolak dengan sopan dan memilih untuk pulang ke rumahnya saja. Aku memakluminya, mungkin dia ingin menenangkan diri dan tak ingin diganggu orang lain.
Esok paginya, seperti biasa aku membuka jendela kamarku. Namun, tidak ada sesosok-pun di jembatan itu. Mungkin dia belum datang, pikirku. Maka, setelah mandi dan sholat subuh, aku keluar menuju jembatan itu. Berharap akan menemuinya. Di depan pintu kutemukan secarik kertas yang diganjal dengan batu agar tidak terbang terbawa angin.

Aku sudah tidak tahan, ingin segera mengakhirinya. Aku tak peduli dengan Tuhan. Terima kasih atas bantuanmu. Itu sangat berarti buatku. Tapi, ini keputusanku.

Begitulah isi kertas itu. Tidak ada nama pengirim, tapi aku tahu dia yang menulis surat singkat ini. Kata-katanya membuatku curiga. Lalu kulihat orang-orang berkerumun di jembatan, memandang ke sungai. Jangan-jangan...
‘Ada apa, pak?’
Tanyaku pada salah satu warga yang memandangi sungai.
‘Ada yang mati, jatuh ke sungai’
Jawabnya. Dengan sigap aku menerjang orang-orang yang berkerumun disitu hingga aku dapat melihat ke sungai. Di bawah sana kulihat dia, memakai gaun hitam, terkoyak batu-batu besar. Semoga setelah ini, pupus semua dukamu. Semoga Tuhan memaafkan segala kesalahanmu. Dari sini aku mendoakanmu, temanku...

0 komentar:

 

Leeya.woncoco Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template