Jalan Hidup

0 komentar
Chika membuka lemari es di sudut ruangan. Hawa dingin mengalir dari dalam lemari itu. Namun, kerutan di dahinya tak juga meregang. Diambilnya botol sirup lychee dan dituangnya ke dalam gelas. Kemudian diisinya gelas itu dengan air dingin dari botol di sebelah botol sirup tadi. Diaduknya sebentar larutan itu, lalu diminumnya, seteguk demi seteguk, sampai habis.
Sensasi dingin merayapi seluruh tubuhnya, tapi belum cukup untuk meregangkan kerutan di dahinya dan menyegarkan kembali pikirannya. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding, dan mengenang kembali masa-masa akhir SMA-nya dulu.
***
Kamu mau ngelanjutin kemana nanti, Chika?
Kelas tiga SMA, Chika sering sekali mendengar pertanyaan itu ditujukan padanya. Tapi, dia hanya bisa menjawabnya dengan ragu, “nggak tau.”
Tapi di kamar, di jalanan pulang, di kelas, bahkan di kamar mandi pun, Chika selalu memikirkan pertanyaan itu. Sering dia merenungkan masa depannya, ‘akan jadi apa aku nanti ya?’ Pernah suatu kali dia melihat poster beasiswa pendidikan dari sebuah bank swasta. Lalu pikirannya mulai menjelajah, ‘apa aku jadi pegawai bank ya? Kata orang, gajinya besar.’ Ketika dilihatnya sebuah poster pendidikan pramugari, langsung saja dia membayangkan dirinya, dengan rambut terikat rapi di belakang, memakai baju merah rapi, dan rok panjang dengan belahan sampai paha. Dia tidak kuat membayangkannya. ‘Terlalu seksi,’ begitu pikirnya.
Inas, sahabatnya, juga mengalami hal serupa dengannya. Kata orang, keadaan ini disebut madesu (masa depan suram). Kegiatan mereka yang biasanya jalan-jalan menyusuri kota berdua, sekarang menjadi merenung di taman kota berdua. Suatu hari, seorang teman mereka, Ali, menemukan dua onggokan manusia kebingungan ini, dan menyapa mereka.
“Assalamualaikum, Chika, Inas. Sedang apa kalian?” tanya Ali sopan. Maklum, dia memang pelajar ‘baik-baik’, aktif di rohis sekolah, sering mengisi kajian islam juga. Tapi, yang ditanya masih saja bengong, belum sadar kalau ada orang di depan mereka.
“Assalamualaikum..? Chika? Inas? Kalian baik-baik saja?” Ali bertanya lagi, kali ini sambil menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah kedua gadis itu. Tetap tidak ada respon. Tentu saja, kedua gadis itu sedang asik melamun.
“Kalian sedang memikirkan akan melanjutkan kuliah dimana, nanti?” Tanya Ali. Spontan, mata kedua gadis itu menatapnya tajam. Ali terkejut, dan segera berkata, “Akan lebih baik jika kalian sholat istikharoh, agar jalan kalian dimudahkan oleh Allah. Saya pergi dulu. Assalamualaikum.”
“Hahahaaaa...” tawa kedua gadis itu pecah.
“Liad gag, gelagapan banget si Ali tadi,” ucap Inas sambil tertawa.
“Hahaa..iya, iya. Masa dia gag tau kalo kita cuman pura-pura ngelamun? ‘Pinter’ amat.. Tuh, dia kesandung batu lagi. Hahahaa...” Chika juga menertawakan Ali, yang kebetulan kesandung batu di ujung taman.
Kedua gadis itu menertawakan Ali, tak henti-henti. Pikiran remaja mereka yang masih nakal, tidak sanggup menerima keberadaan seorang yang – kata mereka sih – sok alim (maaf lho, ya), seperti Ali. Padahal Ali merupakan jagoannya para guru. Tentu saja, kalau seabrek prestasi didapatkannya, mulai dari Ketua Lembaga Islam, anggota tim informatika, juara 1 Olimpiade Kimia se-Jawa-Bali, rangking 5 besar paralel, dan lain sebagainyayang sepertinya kurang pantas kalau disebutkan disini (lho?). Kurang apa, pemuda satu itu? Menurut Inas dan Chika, yang kurang dari Ali adalah, kurang nakal (dasar remaja, sudahlah, biarkan mereka menikmati masa mudanya).
Walaupun Chika dan Inas seringkali merendahkan bahkan mempermainkan teman mereka yang ‘berada pada jalan yang benar’, tapi kali ini berbeda. Sampai di rumah, Chika segera mandi dan mengambil air wudhu, lalu sholat asar. Entah apa yang menggerakkan hati gadis satu ini, sehingga ia menyempatkan untuk bangun dan sholat malam, hal yang baru pertama kali dia lakukan.
Besoknya, di sekolah Chika berpapasan dengan Ali. Chika, yang memang memiliki percaya diri tinggi, berjalan tegak. Berbeda dengan Ali, yang menundukkan kepalanya. Chika tersenyum, ‘masih malu, anak itu,hahaa,,’ pikirnya. Di kelas, seorang temannya bertanya, “Setelah ini, kamu ngelanjutin kemana, Ka?” Chika berpikir sebentar, dan entah angin apa yang menggerakkan bibirnya dan membuatnya mengatakan, “Dokter aja, deh.”
Inas yang mendengarnya, terkejut dan berkata, “Beneran, Ka?” Sedangkan Chika, hanya bisa menanggapinya dengan gumaman. Chika sendiri pun bingung dengan perkataannya tadi, ‘setidaknya, aku bisa menjawab pertanyaan orang-orang,’ pikirnya. Karena dia tahu, banyak kendala yang menghambatnya untuk menjadi seorang dokter. Hal pertama, tentunya adalah kemampuan akademisnya yang tidak terlalu tinggi, bahkan bisa dibilang cukup rendah, terbukti dengan dijulukinya ia – oleh beberapa temannya – sebagai seorang yang lemot. Lagipula, rangking paralelnya selalu diatas 130 (“masih untung gag diatas 180.” Kira-kira begitulah tanggapan Inas dan Chika atas peringkat ini). Selain itu, kemampuan ekonomi orangtuanya, ibunya yang seorang penjahit serabutan, dan ayahnya yang seorang guru SD, tidak akan mampu mencukupi biaya sekolah kedokteran yang sangat mahal itu. Apalagi, dia masih punya dua adik yang masih bersekolah di SMP dan SD.
Bagi Chika, menjadi seorang dokter merupakan impian yang bahkan tidak pernah terpikirkan dan hanya terucapkan untuk menjawab pertanyaan, ‘mau melanjutkan kemana?’ Tapi, bahkan Chika sendiri pun, tidak tau, kenapa semenjak dia mengatakan hal itu, dia jadi rajin belajar. Dia jadi semakin ‘niat’ sekolah. Bahkan dia mampu menembus rangking 30 besar di semester lima.
Mengetahui bahwa dirinya mampu jika dia memang belajar, niat Chika menjadi semakin kuat. Sekarang dia memiliki cita-cita : menjadi dokter. Betapapun mustahilnya impiannya itu, yang jelas dia akan berusaha. Chika tau, orang tuanya tidak akan sanggup membiayainya, seandainya dia mengikuti lembaga bimbingan belajar. Maka, sementara teman-temannya sibuk mengikuti bimbingan belajar sepulang sekolah, dia mengerjakan soal-soal di rumah. Di kelas, Chika juga selalu menempati tempat terdepan. Selain itu, semakin mendekati hari ujian, dia juga berkonsultasi dengan orang tuanya, mengenai cita-citanya itu. Ada sedikit keraguan dari kedua orang tua Chika, tentu saja pertimbangannya adalah biaya yang bejibun itu. Walaupun sedikit ragu-ragu, namun orang tuanya menyetujui niat Chika itu. “Uang itu datangnya dari Allah, kalau memang itulah takdirmu, pasti ada jalan, nak,” kata ibu Chika. Dengan begini, maka bertambahlah semangat Chika untuk mencapai impiannya itu.
Ketika akhirnya, tibalah waktunya untuk ujian masuk perguruan tinggi, Chika ragu-ragu untuk mengisi kolom ‘Pendidikan Dokter’ sebagai pilihan pertamanya. Ribuan pertimbangan, lagi-lagi, berputar-putar di otaknya. Namun akhirnya, pilihan itu mengisi kolom pertama lembar jawabannya.
***
“Hei, ngelamun aja. Gimana hasilnya?” Inas bertanya pada Chika.
Chika menundukkan kepalanya, menatap gelas kosong di genggamannya, dan menghela nafas. “Kamu gimana?”
“Aku keterima pilihan kedua, Ka. Ekonomi,” jawab Inas pelan. Inas tak kuasa bertanya lagi. Dia tau, sahabatnya ini tidak diterima di semua pilihannya.  Inas tau, sahabatnya ini sedang terjatuh, impian besarnya tidak kesampaian, bahkan impian kecilnya yang hanya untuk melanjutkan sekolah pun, tidak kesampaian. Inas juga tau, beban sahabatnya tidak sampai disitu. Sebagai anak pertama, sahabatnya itu harus bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Inas hanya bisa melingkarkan lengannya di bahu sahabatnya itu, dan menepuk-nepuknya, tanpa mengatakan apapun.
Tapi Chika mulai terisak. “Padahal, baru kali ini aku berani bermimpi,” ungkapnya. Inas yang tak tega melihat sahabatnya itu menangis, memeluknya. Chika menangis semakin deras.
“Kamu masih bisa nyoba tes lain kok, Ka. Sabar ya. Yakin deh, bahwa ini adalah jalan terbaik-Nya buat kamu.”
Hingga tiga hari setelah pengumuman itu, Chika masih menangis tiap malam di kamarnya. Dia masih menyesali jalan hidupnya. Dia bingung. Lalu, apa yang harus dilakukannya setelah ini jika dia tidak kuliah? Berbagai tawaran sekolah swasta mengerumuninya. Teman-temannya, guru-gurunya, juga orang tuanya, menyarankan dia untuk bersekolah di sekolah swasta, untuk menjadi sarjana maupun di bidang kekaryaan. Chika tidak pernah memikirkan tawaran itu, bahkan untuk satu detik pun. Tapi ada satu orang yang menawarkan penawaran besar, yang pastinya tidak akan pernah Chika lupakan, sampai kapanpun.
“Assalamualaikum, Chika.”
“Iya, waalaikum salam..”
“Bagaimana ujian nasional perguruan tinggi kemarin? Kamu diterima dimana?”
“Tahun ini, belum rejekiku. Mungkin tahun depan aku nyoba lagi. Kamu sendiri, keterima dimana?”
“Alhamdulillah, aku diterima di Kedokteran.”
“Selamat ya. Kalo kamu, kemampuannya udah gag diragukan lagi deh. Pasti keterima dimanapun kamu ngelamar.”
“Nggak juga. Insya Allah, semoga ini jalan terbaik untukku.”
“Iya.”
“Ngomong-ngomong, masih ada satu lamaran yang belum aku ajukan nih.”
“Kamu kan udah keterima sesuai inginmu. Mau ngelamar kemana lagi?”
“Sebenarnya ada dua lamaran, satu dari aku, satu lagi bisa dibilang penawaran.”
“Mbulet ah, gag jelas banget!”
“Aku bingung harus bilang dari mana.”
“Udah ya, aku mau pulang.”
“Chika! Jangan pulang dulu. Aku mau memberikan penawaran buat kamu.”
“Penawaran apaan?”
“Ayahku mengurus sebuah LSM. Mereka selalu memberikan beasiswa tiap tahunnya untuk lima puluh orang. Lalu, aku mengajukan namamu sebagai salah satu penerima beasiswa itu, dan ternyata disetujui.”
“Kok seenaknya gitu sih?”
“Maaf, Chika. Tapi beasiswa ini luar biasa. Aku harap kamu menerimanya. Beasiswa ini membiayai kamu selama pendidikan sampai menjadi dokter, di fakultas kedokteran milik negara.”
“Wow,, enak banget dong. Tapi, aku kan nggak keterima. Walaupun aku mau menerimanya, tapi aku tidak bisa, kan?”
“Dengan kamu menerima beasiswa ini, kamu sudah terdaftar sebagai mahasiswa di fakultas kedokteran tanpa tes.”
“APA??!!! Kamu pasti bercanda! Terus, aku harus ngasih apa ke mereka?”
“Yang perlu kamu lakukan cuma memberikan loyalitasmu untuk membantu LSM itu.”
Coba tebak, siapa yang berbincang panjang lebar, lama sekali, dengan Chika itu?! Yap, tepat sekali. Dia adalah Ali, teman Chika, yang sering mendapat perlakukan semena-mena (kata ini hanya mendramatisir) dari Chika. Usut punya usut, ternyata Ali sudah melirik Chika sejak mereka kelas dua SMA, waktu mereka berada pada satu kelas.
Sekarang Chika sadar, bahwa Allah adalah Yang Maha Kuasa untuk membolak-balik nasib seseorang, bahwa Allah adalah Yang Maha Adil untuk menentukan nasib seseorang, bahwa Allah adalah Yang Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Chika tidak hanya mendapatkan impiannya, tapi dia juga mendapatkan apa yang belum pernah dia impikan. Satu minggu setelah Ali mengabarinya mengenai beasiswa itu, dia melamar Chika. Walaupun kata orang mereka masih terlalu muda, tidak ada yang dapat menentukan kesiapan selain Allah. Maka, sebelum mereka menempuh jenjang pendidikan yang baru, mereka memutuskan untuk menempuh jenjang hidup yang baru, dan Chika mendapatkan Ali sebagai teman hidupnya.

RABBIT

0 komentar
A yellow rabbit come to my garden. It is so cute. It has big eyes, long ears that flip up, a wooly hair which is yellow, and two big incisors. I see it from my window. And then it jumps. Whoa… its jump is so high. I cannot measure it, but I guess it is about three meters or more. Its jump reaches my roof. And then it gets down. But, something is different from its look. I wonder what it is. Ah, I know, it is getting bigger than before. What is bigger? Ah, I know, its stomach is bigger. But why it inflates? It doesn’t even eat my grass.
Before I finish thinking it up, it is jumping again. But, it leaves a little deep footprint in my grass yard. And now I know what else that has been bigger. It is its leg. It is just one of it leg. What happen to it? Several seconds later it gets down. Whoa… it has made the footprint deeper! What is happening?! Now it has same big legs. And, just a moment I saw its incisors grow. It is grows sharper. And, I think, it has became a weird shape rabbit. It is no more looks like a rabbit. It more looks like a monster.
And then it jumps again. When it is jumping, it leaves a deeper footprint that makes my grass wither. I feel a little afraid, but I force my self to look at it. So I open my window and look to the sky. Ah… so that is what has happened. It is eating my roof. It is true! The rabbit eats my roof. I ask my self why it eats my roof more than my grass. It is unusual. The rabbit… eats… my roof?!
My astonished are not clear yet, but the rabbit is standing in front of me, makes me being more astonished. When I saw it several minutes ago, it was a cute and small animal. But now, it is bigger than me. It is even bigger than my wide window. And then it looks at me. It eyes is not an innocent eyes that animal’s usually has. It is red, perfectly round. But, when I see a smoke rising from it’s under body, I also see its eyes are growing. Its eyes are growing more and more. I cannot count it again. It has become a thousand eyes. An eyes that insect usually has.
Its transformation is complete. It is looking at me rudely and greedy, like it wants to eat me. It is stepping. When it is stepping, even my build-in-concrete wall cannot endures it. It breaks my build-in-concrete wall and also my lovely window. I am turned back. And then I realize that my roof is not protecting me anymore. The sun is shining at me and the weird rabbit from top. The clear blue sky is being the witness of my ending. I close my eyes, give my life to God, let He decides what will happen to me. Will I die? Or will I live.
Incidentally, something rough and wet touches my cheek. I open my eyes and startled to what I see. The rabbit is licking my cheek. Its mucus is green, thick, and very nauseating. I hope it just kills me!


How person do something is controlled by their intuition. When they are following their bad intuition, they will become an immense one. Just like the rabbit. It was a cute one, but it followed its bad intuition and became a weird rabbit, and then it followed its innocence and it canceled its desire to kill. However someone like that just cause a trouble for their environment.

Cursed Day

0 komentar
“Hai, Lia! Lesu banget pagi ini?!”, Rani menyapaku penuh keceriaan.
“Iya, aku lagi mikirin sesuatu”, jawabku singkat dengan nada sedikit merana.
“Kenapa, sih? Kamu ada masalah?”, tanya Rani, mulai prihatin.
“Aku.........”
“Hai, Rani! Happy valentine!”, seorang cowok melintas dan langsung menyapa Rani – tanpa menyapaku – lalu memberikan sekuntum bunga mawar. Ternyata Ardi.
“Makasih.... Li! Duluan, ya?”
Tuh, kan? Sudah kuduga hari ini bakal jadi hari yang menyebalkan. Valentine? Hhhh...... buatku sama sekali bukan hari kasih sayang. Hei! Memang bukan, kan? Hari valentine kan tepat dengan kematiannya pendeta valentine, tidak bisa disebut hari kasih sayang sebenarnya. Menurutku, tapi tidak buat anak-anak lain.
Mungkin hanya aku yang tidak berbahagia hari ini. Itu karena hanya aku yang tidak mendapat coklat atau traktiran atau ‘ditembak’ cowok. Nyebelin banget nggak, tuh? Pastinya dong! Umurku bahkan sudah hampir tujuh belas, tiga bulan lagi. Tapi, tidak ada seorang cowokpun yang berani mendekati aku. Memangnya ada yang salah dengan diriku? Sepertinya tidak ada deh......
“Hai, Lia! Eh, cerpenmu bagus banget...” Siska. Dia idola cowok-cowok. Pasti sudah dapat beberapa batang coklat. Kulihat jam tangan berwarna hitam di pergelangan tangan kiriku. Padahal masih jam tujuh kurang lima.......
“Aku langganan majalah ‘Adilla’, jadi tadi pagi aku membacanya. Ceritanya bagus banget. Kamu kenapa, sih?” Kenapa semuanya pada tanya? Masa mereka tidak tahu kalau hanya aku yang belum dikejar cowok? Memangnya tidak terlihat dari wajahku, ya?
“Kok sedih? Mestinya kamu senang, dong. Cerpenmu kan dimuat di majalah....”
“Makasih, Sis”, kujawab singkat, padat, dan jelas. Oke, kuakui aku memang bangga, tapi hanya sedikit. Saat pertama cerpenku dimuat di majalah, memang aku sangat senang, sampai jingkrak-jingkrak. Tapi sekarang tidak lagi. Cerpen dimuat bukan lagi sebuah kehebohan. Bagaimana tidak kalau tiga novelku sudah diterbitkan dan sudah puluhan cerpenku dimuat di surat kabar. Bukannya sombong sih, tapi itu sudah menjadi hal yang biasa buatku.
Bahasa Indonesia, pelajaran yang sangat membosankan. Kenapa sih guru ini terus-terusan mengoceh? Lalu, kenapa juga semua anak ngeliatin aku? Memangnya kemeranaanku begitu terlihat, ya?
“Li. Kamu ditanya pak Teguh, tuh. Jawab, dong...”, bisik Rani di telingaku. Otakku belum nyambung, tapi aku terus memandangi guru bahasa Indonesiaku berjalan mendekat ke arahku, lalu berbicara di depan wajahku.
“Lia! Kamu habis dari mana? Dari Amerika?!”, kata orang itu judes.
“Enggak, pak.”
Kok aku mendengar suara dengusan tawa, ya?
“Jangan melamun saja! Saya bertanya pada kamu!”
“Saya nggak ngelamun kok, pak. Kan sudah saya jawab, saya nggak dari Amerika. Saya di Indonesia terus kok, pak.”
Kok suara dengusannya tambah keras, ya? Ada suara cekikikan juga. Kenapa juga bapak ini berkacak pinggang?
“Saya bertanya, apa parafrase dari puisi yang dibacakan temanmu tadi?!”
Ehm..... well, puisi apaan? Memang siapa yang baca puisi? Mati aku. God! Ternyata anak-anak menertawakan aku. Jadi dari tadi aku melamun? Jam berapa, nih? Kulihat jam tanganku, jarumnya menunjukkan angka delapan dan tiga. Jam delapan lima belas.
“Malah melihat jam tangan. Kamu dari tadi ngapain, non?! Kalau saya perhatikan, dari tadi kamu melamun!”
Aduh..... mati aku. Daripada tambah celaka, mendingan nunduk aja deh, sepertinya lebih aman.
“Menunduk, lagi. Saya ingin kamu menceritakan parafrase puisi yang dibacakan temanmu tadi. Bukunya dibuka, dong!”
Tuhan...... lindungilah hambamu ini. Tuhan, tolonglah hambamu ini. Ya Tuhan, aku harus membuka halaman berapa nih?
“Puisi ‘Surat dari Ibu’ karya Asrul Sani di halaman sembilan puluh lima!”, kata bapak itu. Aduh! Siapa ya, namanya? Oya! Pak Teguh..... yes! Otakku sudah kembali!!!!
Pak Teguh berjalan kembali ke bangkunya di depan, bisa kulihat asap transparan keluar dari sela-sela rambut hitamnya yang tersisir rapi dan dari tiap ujung jemari tangannya dan dari sepatunya juga. Wah, apa orang ini sedang terbakar, ya? Bajunya juga warnanya merah, pas banget tuh. Lia! Sekarang bukan saatnya ngaco! Kamu diambang kematian, tuh.....
“Begini sikap kalian? Memangnya kalian tidak ingat  kapan kalian ujian?!!!”, kata pak Teguh keras. Membentak tepatnya, dan matanya terjurus ke aku. Maaak.....
“Sekarang sudah pertengahan Februari! Bulan Mei kalian ujian akhir! Kalian ini sadar atau tidak, sih? Guru-guru kalian sudah mati-matian mengajar kalian agar kalian bisa lulus! Begini tanggapan kalian? Sudah bosan belajar?!!!” Sebenarnya pak Teguh berbicara sama siapa, sih? Kok matanya tertuju padaku terus?
“Sudah pintar, ya?! Ya sudah, kalau kalian memang sudah pintar, lebih baik saya keluar!”
TEEETTT!!!
Pak Teguh keluar kelas dengan ‘api’ yang menyala-nyala.
“Memang waktunya keluar, pak”, kata Rani setelah rambut terakhir pak Teguh melewati pintu. Nadanya mengejek. “Gila kamu, Li! Mau dibunuh?”, tanya Rani padaku. Sepertinya dia menghawatirkanku tapi juga menertawaiku, buktinya dia menyunggingkan senyum dahsyatnya.
“Aku dari tadi melamun. Hari ini nggak mood sama sekali...”, ucapku bosan.
“Tahu, nggak? Dari tadi pak Teguh ngeliatin kamu terus. Kalau kuhitung sekitar setengah jam-an ada-lah. Kamu nih, kalau mau melamun cari waktu yang tepat, dong! Guru killer gitu......”, Rani menggeleng-gelengkan kepalanya.
Fiuh! Akhirnya istirahat juga. Paling enak minum Granita di kantin saat ini. Tapi...... hari ini memang menyebalkan! Keterlaluan! Semua tidak mengerti perasaanku! Bahkan di kantin pun ada perayaan valentine. Semua kedai berhiaskan pink dan ada banyak mawarnya, jualannya juga serba coklat. Jadi tidak nafsu minum, nih.
Setelah berkeliling sekolah, aku muak melihat dekorasi sekolah hari ini: ekstra pink dan penuh mawar. Pasti kerjaan anak osis. Aku memutuskan untuk kembali saja ke kelas, padahal istirahat masih ada lima belas menit. Aku melewati lapangan basket yang kali ini dipenuhi oleh para cowok yang berlutut di depan para cewek, mengemis pernyataan ‘iya’. Hhhh......... lalu kulihat Ian bersama begundal-begundalnya, mereka melintasiku. Keterlaluan, mereka bahkan tidak menyapaku. Apa hari ini benar-benar kutukan buatku?
Sebal pada semua, kutundukkan kepalaku sehingga aku tidak melihat jalan di depanku, yang terlihat hanya ubin kotor di bawahku. Duk!
“Sorry”, aku menabrak seseorang yang berdiri dekat tembok. “Oh kamu, Luh? Lagi ngapain?” Ternyata Galuh, cowok impian para cewek yang sampai sekarang belum juga punya cewek. Mungkin habis ini dia ‘nembak’ seseorang yang perfect sejenis Siska. Satu yang bisa kupastikan: dia sudah mendapat puluhan coklat sejak tadi pagi. Mungkin juga dia dapet segunung bunga mawar, habis dia wangi banget sih.
“Ini, mau ngadain acara valentine-nan. Kamu ikut, ya?”, katanya datar. Ice-man.
Kubaca poster berwarna pink dipadu hijau lumut itu. “Di rumah kamu?”
“Iya, nanti malam di pekaranganku. Kamu ikut, ya?”, tanyanya. Nada bicaranya agak memaksa menurutku.
“Gimana, ya? Habis aku nggak punya pasangan, sih”, keluhku. Aku jujur, kan?
“Itu bukan masalah. Lagipula acara intinya merayakan ultahnya Bargi. Hari ini juga, kan?”
Aku berpikir sebentar. Kalau ini acara ulang tahunnya Bargi, berarti yang diundang hampir satu sekolahan, dong? Kan banyak juga yang still single. Enaknya datang atau tidak, ya?
Dresscode-nya apa?”
“Kamu positif datang?”, mendadak Galuh sumringah. Aku yang berhadapan dengan cowok terganteng di sekolah ini jadi Ge-eR sendiri.
“Yah..... aku pikir-pikir dulu deh. Kalau nanti ada mood, ya datang.”
“Oke. Dresscode-nya ‘Red and Rossy’. Kalau bisa kamu pakai aksesoris mawar yang banyak, ya? Biar meriah”, ternyata ice-man ini bisa bercanda juga.
“Memang ada ratu acaranya? Kalau ada, aku bakal berdandan senorak mungkin, nih....”, candaku. Norak? No way! Simple is perfect.
“Ada. Jadi, kuharap kamu dandan seperti badut, biar jadi ‘Queen of the party’. Hahaha.......” Alamak...... gantengnya.....
“Jadi benar-benar ada ratunya?”, aku ikut tersenyum melihat Galuh tersenyum sangat bahagia gitu.
“Iya. Ya udah, aku mau masang di mading depan. Kamu mau ikut mbantu?”
“Ehm..... sepertinya hari ini aku agak nggak mood. Jadi, sorry ya, kamu mesti kerja sendiri. Sorry”, kutangkupkan kedua tanganku di depan dada sambil tersenyum. Galuh juga tersenyum, lalu dia pergi.
“Daah....”, salamnya sebelum pergi. Kubalas dengan lambaian tangan. Aduh! Kami jadi seperti sepasang kekasih deh. Mimpi, kali.....
Di kelas, aku langsung bisa menemukan Rani. Itu karena saat aku memasuki kelas, dia berlari menghampiriku dengan penuh semangat dan langsung memelukku.
“Li! Nanti datang ya ke ultahnya Bargi!”, kata Rani penuh semangat.
“Ehm...... hari ini aku lagi nggak mood. Sepertinya aku nggak datang, deh....”
“Haaa.....?”, Rani menampakkan muka memelasnya. Well, sebenarnya kamu nggak perlu gitu, Rani. Lagipula, kamu kan bisa datang sama Ardi, yang tadi memberi kamu mawar. Kalau aku? Datang sama siapa? No one want to be with me, Rani....
“Ayo, dooong....... temanin aku. Kalau gitu, kamu datang sebentar aja, deh. Makan, terus pulang.....”
“Nggak, deh. Emangnya aku kambing? Datang cuma waktu ada makanan?”
“Ayolaaaah....... sepertinya party-nya nggak ngebosenin, deh... temanya aja red and rossy. Jadi nanti pasti penuh bunga mawar. Kan meriah, tuh. Gimana?”
“Kamu seperti sales aja, deh....”
“Tapi kamu mau, kan?” Dasar si Rani. Bisa saja membuat orang lain berubah pikiran.
“Iya, deh.”
“Horrreeee.....!!!!!”
“Tapi sebentar aja, lho....”, tambahku saat Rani bersorak. Aku hanya mau menemani dia sebentar, bukan untuk melihat orang-orang lain pacaran dan saling berpelukan. Risih, tapi membuat iri.
Pekarangan rumah Galuh, pukul 19.30
Suasana sudah ramai sekali, anak-anak yang lain sudah datang dari tadi. Benar juga, pesta ini sangat meriah. Dekorasinya penuh dengan untaian mawar beragam warna. Tapi, yang datang memakai warna merah semua. Kostum yang paling banyak dipakai adalah kaos merah dan celana jeans, seperti aku. Simple is perfect, kan?
“Li! Lihat tuh si Bargi! Dia keren banget, kan....?”
“Aduh.... nggak usah mupeng gitu deh, Ran” (mupeng = muka pengen).
“Buat teman-teman semua! Selamat datang di acara ulang tahun kawan kita, Bargi Andriyanto!”, MC yang nggak lain adalah Galuh memulai acara. Tepuk tangan yang sangat meriah mengikuti perkataan Galuh yang memang mengundang tepukan.
“Hari ini, tepat pada jam 19.30, tujuh belas tahun lalu Bargi dilahirkan ke dunia. Sekarang, tanpa terasa Bargi telah menginjak usianya yang ke tujuh belas. Beri tepukan meriah, dong.....” plok...plok...plok...suiiiitt.....suiiiiittt...... ramenya...
“Jadi, untuk merayakan ulang tahun Bargi  yang ke-17 sekaligus merayakan kedewasaannya, gimana kalau kita tiup lilin plus make a wish buat Bargi?”
Huuu...... kuno! Wes gede, iki! Dudu’ arek cilik mênêh!”, seorang anak cowok berteriak dari belakang (buat yang tidak tahu artinya, huuu...... kuno! Sudah besar dia! Bukan anak kecil lagi!).
“Wuih! Iya juga. Gimana kalau potong tumpeng?”, kata Galuh.
“Perayaan jadi pak RT, kali....”, seorang anak, cewek kali ini, menyahut dari tengah para undangan diikuti oleh tawa dan sorakan setuju dari anak-anak lain.
“Haha... iya juga. Gimana kalau kita mendengarkan Bargi bernostalgia dengan harapannya lewat lagu karangannya?”, kali ini tidak ada yang menyahut. “Dengan penuh keceriaan dan doa buat Bargi, kita sambut artis kita kali ini, Bargi!”, terdengar teriakan, suitan, tepuk tangan yang sangat meriah dari semua undangan yang semuanya anak SMA.
“Ran, aku males nih. Aku pulang duluan, deh.”, kataku. Yah, sejujurnya acara ini cukup menarik. Tapi, aku sedang nggak mood. Aku mau mengabadikan kesebalanku hari ini di buku diary.
“Eh, jangan dulu dong. Aku kan jadi sendirian....”, mohon Rani.
“Kan banyak anak-anak lain....”
“Ehm..... ya udah, deh. Hati-hati ya. Eh! Kamu pulang naik apa?”
“Aku bawa motor, kok.”, setelah mengucapkan salam pada Rani dan teman-teman di sekitarku, aku beranjak pulang. Lantunan akustik dari panggung kecil di tengah undangan sudah mulai. Bargi yang memainkannya, merdu banget. Sama merdunya dengan suaranya yang sudah mulai bernyanyi.....
“Kawan ucapkan selamat ulang tahun
Semua berbahagia dalam acara ini
Sweet-seventeen Bargi di hari valentine
Kini ku tlah dewasa
Kini ku bisa berpijak di kakiku sendiri
Kini ku akan ungkapkan semua
Yang kupendam jauh di dasar hatiku
Kucinta kamu
Amelia Larasati.......”
“Wuuu.............! plok.... plok... plok...! suiiit.....!”
Apa?!!!!  Amelia larasati? Itu kan......... aku. Mendadak aku menghentikan langkahku. Mataku melotot, dengan gerak refleks aku membalikkan badanku. Seketika mataku berpapasan dengan mata Bargi. Aku sangat kaget, tapi matanya bergitu bercahaya – walau dilihat dari jarak dua puluh meter. Aku terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Aku terus menatap Bargi yang juga menatap sejurus padaku.
“Jadi gimana, Li?”, tanya Bargi lewat microphone. Gimana? Gimana apanya? Masa dia benar-benar nembak aku, sih? Sulit dipercaya, tapi apa aku harus percaya?
“Sebenarnya, aku sudah suka sejak kita sekelas di kelas satu. Tapi aku sadar, aku masih kecil saat itu. Aku sadar diri, aku belum bisa mengontrol emosiku. Sekarang aku sudah dewasa, aku yakin dengan hatiku. Tiga tahun aku memendamnya. Sekarang, apa kamu mau jadi pacarku?”, kata Bargi panjang lebar. Dia tetap menatapku, begitu pula aku. Suasana kembali sepi, dan aku merasakan bahwa semua orang sedang menatap kami, sekalipun aku tidak melihat sekeliling. Pandanganku praktis hanya kepada Bargi.
Bargi. Bargi. Memang selama ini kami punya hubungan apa, sih? Hanya teman, kan? Aku tidak pernah merasakan getaran-getaran atau reaksi kimia saat bertemu atau berbicara dengannya. Aku tidak mencintainya. Kualihkan pandanganku, lalu kulihat Rani melihatku dengan pandangan kecewa, namun tersenyum memaksa.
“Apa Amelia Larasati yang kamu maksud itu aku?”, tanyaku. Hanya anak yang dekat denganku yang bisa mendengarnya. Lalu Galuh memberiku microphone, kuulangi pertanyaanku.
“Ya”, jawab Bargi.
“Kalau begitu aku minta maaf. Sejujurnya aku sangat berharap ada seseorang yang nembak aku hari ini. Tapi, ternyata bukan kamu yang kuharapkan. Aku minta maaf, tapi biar bagaimanapun kamu teman baikku, kamu sudah membuat aku senang walau aku mengecewakanmu. Sorry...”, kataku. Semua orang memandang kami. Beberapa anak kecewa, tapi aku melihat Rani sudah kembali ceria. Aku memberikan microphone pada Galuh, lalu aku berbalik, berjalan pulang.
“Gimana kalau sama aku?”
Hah? Siapa itu? Suaranya seperti suara....... Galuh.
Aku harus bilang apa? Aku tidak bisa berkata-kata. Yang jelas hatiku mencelos, jantungku berdetak lebih cepat, air mataku keluar, senyum tak bisa kutahan. Galuh memelukku, semua anak bersorak.
Hari ini bagai kutukan buatku, tapi hari ini adalah hari terbaik bagiku.
 

Leeya.woncoco Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template