Cursed Day

“Hai, Lia! Lesu banget pagi ini?!”, Rani menyapaku penuh keceriaan.
“Iya, aku lagi mikirin sesuatu”, jawabku singkat dengan nada sedikit merana.
“Kenapa, sih? Kamu ada masalah?”, tanya Rani, mulai prihatin.
“Aku.........”
“Hai, Rani! Happy valentine!”, seorang cowok melintas dan langsung menyapa Rani – tanpa menyapaku – lalu memberikan sekuntum bunga mawar. Ternyata Ardi.
“Makasih.... Li! Duluan, ya?”
Tuh, kan? Sudah kuduga hari ini bakal jadi hari yang menyebalkan. Valentine? Hhhh...... buatku sama sekali bukan hari kasih sayang. Hei! Memang bukan, kan? Hari valentine kan tepat dengan kematiannya pendeta valentine, tidak bisa disebut hari kasih sayang sebenarnya. Menurutku, tapi tidak buat anak-anak lain.
Mungkin hanya aku yang tidak berbahagia hari ini. Itu karena hanya aku yang tidak mendapat coklat atau traktiran atau ‘ditembak’ cowok. Nyebelin banget nggak, tuh? Pastinya dong! Umurku bahkan sudah hampir tujuh belas, tiga bulan lagi. Tapi, tidak ada seorang cowokpun yang berani mendekati aku. Memangnya ada yang salah dengan diriku? Sepertinya tidak ada deh......
“Hai, Lia! Eh, cerpenmu bagus banget...” Siska. Dia idola cowok-cowok. Pasti sudah dapat beberapa batang coklat. Kulihat jam tangan berwarna hitam di pergelangan tangan kiriku. Padahal masih jam tujuh kurang lima.......
“Aku langganan majalah ‘Adilla’, jadi tadi pagi aku membacanya. Ceritanya bagus banget. Kamu kenapa, sih?” Kenapa semuanya pada tanya? Masa mereka tidak tahu kalau hanya aku yang belum dikejar cowok? Memangnya tidak terlihat dari wajahku, ya?
“Kok sedih? Mestinya kamu senang, dong. Cerpenmu kan dimuat di majalah....”
“Makasih, Sis”, kujawab singkat, padat, dan jelas. Oke, kuakui aku memang bangga, tapi hanya sedikit. Saat pertama cerpenku dimuat di majalah, memang aku sangat senang, sampai jingkrak-jingkrak. Tapi sekarang tidak lagi. Cerpen dimuat bukan lagi sebuah kehebohan. Bagaimana tidak kalau tiga novelku sudah diterbitkan dan sudah puluhan cerpenku dimuat di surat kabar. Bukannya sombong sih, tapi itu sudah menjadi hal yang biasa buatku.
Bahasa Indonesia, pelajaran yang sangat membosankan. Kenapa sih guru ini terus-terusan mengoceh? Lalu, kenapa juga semua anak ngeliatin aku? Memangnya kemeranaanku begitu terlihat, ya?
“Li. Kamu ditanya pak Teguh, tuh. Jawab, dong...”, bisik Rani di telingaku. Otakku belum nyambung, tapi aku terus memandangi guru bahasa Indonesiaku berjalan mendekat ke arahku, lalu berbicara di depan wajahku.
“Lia! Kamu habis dari mana? Dari Amerika?!”, kata orang itu judes.
“Enggak, pak.”
Kok aku mendengar suara dengusan tawa, ya?
“Jangan melamun saja! Saya bertanya pada kamu!”
“Saya nggak ngelamun kok, pak. Kan sudah saya jawab, saya nggak dari Amerika. Saya di Indonesia terus kok, pak.”
Kok suara dengusannya tambah keras, ya? Ada suara cekikikan juga. Kenapa juga bapak ini berkacak pinggang?
“Saya bertanya, apa parafrase dari puisi yang dibacakan temanmu tadi?!”
Ehm..... well, puisi apaan? Memang siapa yang baca puisi? Mati aku. God! Ternyata anak-anak menertawakan aku. Jadi dari tadi aku melamun? Jam berapa, nih? Kulihat jam tanganku, jarumnya menunjukkan angka delapan dan tiga. Jam delapan lima belas.
“Malah melihat jam tangan. Kamu dari tadi ngapain, non?! Kalau saya perhatikan, dari tadi kamu melamun!”
Aduh..... mati aku. Daripada tambah celaka, mendingan nunduk aja deh, sepertinya lebih aman.
“Menunduk, lagi. Saya ingin kamu menceritakan parafrase puisi yang dibacakan temanmu tadi. Bukunya dibuka, dong!”
Tuhan...... lindungilah hambamu ini. Tuhan, tolonglah hambamu ini. Ya Tuhan, aku harus membuka halaman berapa nih?
“Puisi ‘Surat dari Ibu’ karya Asrul Sani di halaman sembilan puluh lima!”, kata bapak itu. Aduh! Siapa ya, namanya? Oya! Pak Teguh..... yes! Otakku sudah kembali!!!!
Pak Teguh berjalan kembali ke bangkunya di depan, bisa kulihat asap transparan keluar dari sela-sela rambut hitamnya yang tersisir rapi dan dari tiap ujung jemari tangannya dan dari sepatunya juga. Wah, apa orang ini sedang terbakar, ya? Bajunya juga warnanya merah, pas banget tuh. Lia! Sekarang bukan saatnya ngaco! Kamu diambang kematian, tuh.....
“Begini sikap kalian? Memangnya kalian tidak ingat  kapan kalian ujian?!!!”, kata pak Teguh keras. Membentak tepatnya, dan matanya terjurus ke aku. Maaak.....
“Sekarang sudah pertengahan Februari! Bulan Mei kalian ujian akhir! Kalian ini sadar atau tidak, sih? Guru-guru kalian sudah mati-matian mengajar kalian agar kalian bisa lulus! Begini tanggapan kalian? Sudah bosan belajar?!!!” Sebenarnya pak Teguh berbicara sama siapa, sih? Kok matanya tertuju padaku terus?
“Sudah pintar, ya?! Ya sudah, kalau kalian memang sudah pintar, lebih baik saya keluar!”
TEEETTT!!!
Pak Teguh keluar kelas dengan ‘api’ yang menyala-nyala.
“Memang waktunya keluar, pak”, kata Rani setelah rambut terakhir pak Teguh melewati pintu. Nadanya mengejek. “Gila kamu, Li! Mau dibunuh?”, tanya Rani padaku. Sepertinya dia menghawatirkanku tapi juga menertawaiku, buktinya dia menyunggingkan senyum dahsyatnya.
“Aku dari tadi melamun. Hari ini nggak mood sama sekali...”, ucapku bosan.
“Tahu, nggak? Dari tadi pak Teguh ngeliatin kamu terus. Kalau kuhitung sekitar setengah jam-an ada-lah. Kamu nih, kalau mau melamun cari waktu yang tepat, dong! Guru killer gitu......”, Rani menggeleng-gelengkan kepalanya.
Fiuh! Akhirnya istirahat juga. Paling enak minum Granita di kantin saat ini. Tapi...... hari ini memang menyebalkan! Keterlaluan! Semua tidak mengerti perasaanku! Bahkan di kantin pun ada perayaan valentine. Semua kedai berhiaskan pink dan ada banyak mawarnya, jualannya juga serba coklat. Jadi tidak nafsu minum, nih.
Setelah berkeliling sekolah, aku muak melihat dekorasi sekolah hari ini: ekstra pink dan penuh mawar. Pasti kerjaan anak osis. Aku memutuskan untuk kembali saja ke kelas, padahal istirahat masih ada lima belas menit. Aku melewati lapangan basket yang kali ini dipenuhi oleh para cowok yang berlutut di depan para cewek, mengemis pernyataan ‘iya’. Hhhh......... lalu kulihat Ian bersama begundal-begundalnya, mereka melintasiku. Keterlaluan, mereka bahkan tidak menyapaku. Apa hari ini benar-benar kutukan buatku?
Sebal pada semua, kutundukkan kepalaku sehingga aku tidak melihat jalan di depanku, yang terlihat hanya ubin kotor di bawahku. Duk!
“Sorry”, aku menabrak seseorang yang berdiri dekat tembok. “Oh kamu, Luh? Lagi ngapain?” Ternyata Galuh, cowok impian para cewek yang sampai sekarang belum juga punya cewek. Mungkin habis ini dia ‘nembak’ seseorang yang perfect sejenis Siska. Satu yang bisa kupastikan: dia sudah mendapat puluhan coklat sejak tadi pagi. Mungkin juga dia dapet segunung bunga mawar, habis dia wangi banget sih.
“Ini, mau ngadain acara valentine-nan. Kamu ikut, ya?”, katanya datar. Ice-man.
Kubaca poster berwarna pink dipadu hijau lumut itu. “Di rumah kamu?”
“Iya, nanti malam di pekaranganku. Kamu ikut, ya?”, tanyanya. Nada bicaranya agak memaksa menurutku.
“Gimana, ya? Habis aku nggak punya pasangan, sih”, keluhku. Aku jujur, kan?
“Itu bukan masalah. Lagipula acara intinya merayakan ultahnya Bargi. Hari ini juga, kan?”
Aku berpikir sebentar. Kalau ini acara ulang tahunnya Bargi, berarti yang diundang hampir satu sekolahan, dong? Kan banyak juga yang still single. Enaknya datang atau tidak, ya?
Dresscode-nya apa?”
“Kamu positif datang?”, mendadak Galuh sumringah. Aku yang berhadapan dengan cowok terganteng di sekolah ini jadi Ge-eR sendiri.
“Yah..... aku pikir-pikir dulu deh. Kalau nanti ada mood, ya datang.”
“Oke. Dresscode-nya ‘Red and Rossy’. Kalau bisa kamu pakai aksesoris mawar yang banyak, ya? Biar meriah”, ternyata ice-man ini bisa bercanda juga.
“Memang ada ratu acaranya? Kalau ada, aku bakal berdandan senorak mungkin, nih....”, candaku. Norak? No way! Simple is perfect.
“Ada. Jadi, kuharap kamu dandan seperti badut, biar jadi ‘Queen of the party’. Hahaha.......” Alamak...... gantengnya.....
“Jadi benar-benar ada ratunya?”, aku ikut tersenyum melihat Galuh tersenyum sangat bahagia gitu.
“Iya. Ya udah, aku mau masang di mading depan. Kamu mau ikut mbantu?”
“Ehm..... sepertinya hari ini aku agak nggak mood. Jadi, sorry ya, kamu mesti kerja sendiri. Sorry”, kutangkupkan kedua tanganku di depan dada sambil tersenyum. Galuh juga tersenyum, lalu dia pergi.
“Daah....”, salamnya sebelum pergi. Kubalas dengan lambaian tangan. Aduh! Kami jadi seperti sepasang kekasih deh. Mimpi, kali.....
Di kelas, aku langsung bisa menemukan Rani. Itu karena saat aku memasuki kelas, dia berlari menghampiriku dengan penuh semangat dan langsung memelukku.
“Li! Nanti datang ya ke ultahnya Bargi!”, kata Rani penuh semangat.
“Ehm...... hari ini aku lagi nggak mood. Sepertinya aku nggak datang, deh....”
“Haaa.....?”, Rani menampakkan muka memelasnya. Well, sebenarnya kamu nggak perlu gitu, Rani. Lagipula, kamu kan bisa datang sama Ardi, yang tadi memberi kamu mawar. Kalau aku? Datang sama siapa? No one want to be with me, Rani....
“Ayo, dooong....... temanin aku. Kalau gitu, kamu datang sebentar aja, deh. Makan, terus pulang.....”
“Nggak, deh. Emangnya aku kambing? Datang cuma waktu ada makanan?”
“Ayolaaaah....... sepertinya party-nya nggak ngebosenin, deh... temanya aja red and rossy. Jadi nanti pasti penuh bunga mawar. Kan meriah, tuh. Gimana?”
“Kamu seperti sales aja, deh....”
“Tapi kamu mau, kan?” Dasar si Rani. Bisa saja membuat orang lain berubah pikiran.
“Iya, deh.”
“Horrreeee.....!!!!!”
“Tapi sebentar aja, lho....”, tambahku saat Rani bersorak. Aku hanya mau menemani dia sebentar, bukan untuk melihat orang-orang lain pacaran dan saling berpelukan. Risih, tapi membuat iri.
Pekarangan rumah Galuh, pukul 19.30
Suasana sudah ramai sekali, anak-anak yang lain sudah datang dari tadi. Benar juga, pesta ini sangat meriah. Dekorasinya penuh dengan untaian mawar beragam warna. Tapi, yang datang memakai warna merah semua. Kostum yang paling banyak dipakai adalah kaos merah dan celana jeans, seperti aku. Simple is perfect, kan?
“Li! Lihat tuh si Bargi! Dia keren banget, kan....?”
“Aduh.... nggak usah mupeng gitu deh, Ran” (mupeng = muka pengen).
“Buat teman-teman semua! Selamat datang di acara ulang tahun kawan kita, Bargi Andriyanto!”, MC yang nggak lain adalah Galuh memulai acara. Tepuk tangan yang sangat meriah mengikuti perkataan Galuh yang memang mengundang tepukan.
“Hari ini, tepat pada jam 19.30, tujuh belas tahun lalu Bargi dilahirkan ke dunia. Sekarang, tanpa terasa Bargi telah menginjak usianya yang ke tujuh belas. Beri tepukan meriah, dong.....” plok...plok...plok...suiiiitt.....suiiiiittt...... ramenya...
“Jadi, untuk merayakan ulang tahun Bargi  yang ke-17 sekaligus merayakan kedewasaannya, gimana kalau kita tiup lilin plus make a wish buat Bargi?”
Huuu...... kuno! Wes gede, iki! Dudu’ arek cilik mênêh!”, seorang anak cowok berteriak dari belakang (buat yang tidak tahu artinya, huuu...... kuno! Sudah besar dia! Bukan anak kecil lagi!).
“Wuih! Iya juga. Gimana kalau potong tumpeng?”, kata Galuh.
“Perayaan jadi pak RT, kali....”, seorang anak, cewek kali ini, menyahut dari tengah para undangan diikuti oleh tawa dan sorakan setuju dari anak-anak lain.
“Haha... iya juga. Gimana kalau kita mendengarkan Bargi bernostalgia dengan harapannya lewat lagu karangannya?”, kali ini tidak ada yang menyahut. “Dengan penuh keceriaan dan doa buat Bargi, kita sambut artis kita kali ini, Bargi!”, terdengar teriakan, suitan, tepuk tangan yang sangat meriah dari semua undangan yang semuanya anak SMA.
“Ran, aku males nih. Aku pulang duluan, deh.”, kataku. Yah, sejujurnya acara ini cukup menarik. Tapi, aku sedang nggak mood. Aku mau mengabadikan kesebalanku hari ini di buku diary.
“Eh, jangan dulu dong. Aku kan jadi sendirian....”, mohon Rani.
“Kan banyak anak-anak lain....”
“Ehm..... ya udah, deh. Hati-hati ya. Eh! Kamu pulang naik apa?”
“Aku bawa motor, kok.”, setelah mengucapkan salam pada Rani dan teman-teman di sekitarku, aku beranjak pulang. Lantunan akustik dari panggung kecil di tengah undangan sudah mulai. Bargi yang memainkannya, merdu banget. Sama merdunya dengan suaranya yang sudah mulai bernyanyi.....
“Kawan ucapkan selamat ulang tahun
Semua berbahagia dalam acara ini
Sweet-seventeen Bargi di hari valentine
Kini ku tlah dewasa
Kini ku bisa berpijak di kakiku sendiri
Kini ku akan ungkapkan semua
Yang kupendam jauh di dasar hatiku
Kucinta kamu
Amelia Larasati.......”
“Wuuu.............! plok.... plok... plok...! suiiit.....!”
Apa?!!!!  Amelia larasati? Itu kan......... aku. Mendadak aku menghentikan langkahku. Mataku melotot, dengan gerak refleks aku membalikkan badanku. Seketika mataku berpapasan dengan mata Bargi. Aku sangat kaget, tapi matanya bergitu bercahaya – walau dilihat dari jarak dua puluh meter. Aku terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Aku terus menatap Bargi yang juga menatap sejurus padaku.
“Jadi gimana, Li?”, tanya Bargi lewat microphone. Gimana? Gimana apanya? Masa dia benar-benar nembak aku, sih? Sulit dipercaya, tapi apa aku harus percaya?
“Sebenarnya, aku sudah suka sejak kita sekelas di kelas satu. Tapi aku sadar, aku masih kecil saat itu. Aku sadar diri, aku belum bisa mengontrol emosiku. Sekarang aku sudah dewasa, aku yakin dengan hatiku. Tiga tahun aku memendamnya. Sekarang, apa kamu mau jadi pacarku?”, kata Bargi panjang lebar. Dia tetap menatapku, begitu pula aku. Suasana kembali sepi, dan aku merasakan bahwa semua orang sedang menatap kami, sekalipun aku tidak melihat sekeliling. Pandanganku praktis hanya kepada Bargi.
Bargi. Bargi. Memang selama ini kami punya hubungan apa, sih? Hanya teman, kan? Aku tidak pernah merasakan getaran-getaran atau reaksi kimia saat bertemu atau berbicara dengannya. Aku tidak mencintainya. Kualihkan pandanganku, lalu kulihat Rani melihatku dengan pandangan kecewa, namun tersenyum memaksa.
“Apa Amelia Larasati yang kamu maksud itu aku?”, tanyaku. Hanya anak yang dekat denganku yang bisa mendengarnya. Lalu Galuh memberiku microphone, kuulangi pertanyaanku.
“Ya”, jawab Bargi.
“Kalau begitu aku minta maaf. Sejujurnya aku sangat berharap ada seseorang yang nembak aku hari ini. Tapi, ternyata bukan kamu yang kuharapkan. Aku minta maaf, tapi biar bagaimanapun kamu teman baikku, kamu sudah membuat aku senang walau aku mengecewakanmu. Sorry...”, kataku. Semua orang memandang kami. Beberapa anak kecewa, tapi aku melihat Rani sudah kembali ceria. Aku memberikan microphone pada Galuh, lalu aku berbalik, berjalan pulang.
“Gimana kalau sama aku?”
Hah? Siapa itu? Suaranya seperti suara....... Galuh.
Aku harus bilang apa? Aku tidak bisa berkata-kata. Yang jelas hatiku mencelos, jantungku berdetak lebih cepat, air mataku keluar, senyum tak bisa kutahan. Galuh memelukku, semua anak bersorak.
Hari ini bagai kutukan buatku, tapi hari ini adalah hari terbaik bagiku.

0 komentar:

 

Leeya.woncoco Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template