AMUNISI

Seorang pemuda terduduk lemas diatas kasur jerami. Matanya sembab dan bengkak menahan kantuk semalam penuh. Walaupun keadaannya sangat mengkhawatirkan, tekad kuatnya sangat terlihat. Api tekadnya seperti membakar dirinya. Perlahan, api tekad itu memudar. Tak kuasa menahan lelah, sang pemuda tertidur dan langsung terlelap.

Cit..cit..cit...
Kicauan burung bersahutan. Seperti mendengar sebuah alarm, seorang pemuda mengedip-kedipkan matanya, terbangun dari tidurnya. Cahaya ini sangat terang, membuat matanya ngilu. Dia menutup matanya dan meraba meja di sebelahnya, diraihnya gelas berisi air dan meneguknya.
Kini, pemuda itu sudah seratus persen terbangun dari tidurnya. Sesekali dia menggeliat, melemaskan otot-otot tubuhnya. Dalam pikirannya hanya ada satu rencana yang akan dijalankannya hari ini. Rencana yang sudah dipersiapkannya sejak kemarin sore hingga fajar tadi. Rencana yang sudah merenggut sebagian waktu tidurnya.
Ditolehnya ke sebelah kiri. Amunisinya sudah siap. Rencananya sudah siap untuk dijalankan, tidak akan ada kata gagal! Tekadnya sudah benar-benar bulat, dia tidak akan membiarkan kerja kerasnya tidak terbayar dengan gagalnya rencana ini. Tidak akan! Rencana ini harus berhasil! Dia mengepalkan kedua tangannya. Tekadnya semakin bulat, keberanian sudah dikumpulkannya, keragu-raguan sudah disingkirkannya, dia sudah benar-benar siap.
Pemuda itu berdiri. Diraihnya seragam yang terletak diatas kursi kayu. Tekadnya semakin membara. “Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan..” bisiknya lirih.

Dalam balutan seragam berwarna hijau, pemuda itu tampak gagah. Dia menengadahkan kepalanya ke langit, berdoa kepada Tuhan. Saat dia menurunkan kepalanya dengan perlahan, terlihat olehnya pagar tinggi dan menjulang yang sangat kokoh. Dia sedikit gentar. Tapi segera ditepisnya rasa itu.
Seseorang menepuk bahunya, “Hei, sudah siap?” Pemuda itu menoleh ke sebelah kirinya, temannya berada di sebelahnya. Tersungging senyum keberanian penuh harapan di ujung bibir temannya.
“Tentu saja. Aku sudah mempersiapkan amunisi dengan sangat lengkap. Semua akan berakhir dengan mudah.” Pemuda itu tersenyum penuh kemenangan, di dalam hatinya sudah tertancap keyakinan bahwa dia akan menang. Tidak ada yang bisa mencegahnya untuk tersenyum seperti itu.
Mereka berdua bertatapan selama sedetik, seakan saling memancarkan aura keberanian. Lalu sang pemuda menoleh ke sekitarnya, teman-temannya yang lain sudah mulai berdatangan. Difokuskannya pandangan ke arah gerbang, keberanian yang sudah tertumpuk sejak tadi semakin membara. Dengan penuh semangat, dibukanya gerbang kokoh itu. Angin semilir menerpa rambutnya tanpa menerbangkan tekadnya.
“Yo!” teriaknya keras sambil mengepalkan sebelah tangannya ke angkasa.

Sekarang dia duduk. Teman-temannya juga duduk di sekitarnya. Sorot mata ketakutan dapat dilihatnya dari mata teman perempuannya. ‘Andai aku bisa melindungi dia,’ pikirnya gentar. Dia memejamkan matanya sejenak, lagi-lagi mengumpulkan keberanian. Sejauh ini perjalanannya tidak menemui hambatan yang berat. Amunisinya masih belum terpakai.
Dari belakang, seseorang menepuk bahunya. Seorang temannya tersenyum berharap dan berkata lirih, “Win, tolong aku ya...”
“Ya. Walau harus mengorbankan nyawaku, akan ku tolong kamu,” kata pemuda itu penuh semangat.
“Makasih, kamu memang teman yang sangat baik,” puji temannya. Pemuda itu tersenyum bangga.

Dug..dug..dug...
Hh..hh..hh...
Dentuman jantung dan desahan nafas terburu-buru terdengar semakin keras dengan semakin bertambahnya waktu. Musuh-musuh mulai berdatangan. Ia berusaha melawan semua musuh-musuhnya tanpa menggunakan amunisi apapun, seperti teman-temannya yang lain. Tidak akan disia-siakannya amunisi yang belum waktunya dipakai.
‘Oh, tidak. Musuh kali ini tidak akan bisa ku hadapi dengan tangan kosong. Tidak ada jalan lain, aku harus menggunakan salah satu amunisiku,’ pikir pemuda itu di tengah kepanikan.
Ditolehnya ke kanan dan ke kiri. Semua temannya masih berkonsentrasi menghadapi musuh-musuh mereka. Tidak terlihat seorang kawan pun yang menggunakan amunisi mereka. Seorang temannya menoleh ke arahnya, memandang penuh harap. Dia tahu, temannya pasti butuh pertolongan, begitu juga dia. Ditolehnya lagi sekitarnya, untuk memastikan bahwa keadaan aman. Dipandangnya temannya, berharap temannya bisa mendengar kata hatinya,’tenang, aku pasti akan menolongmu. Sebentar lagi akan ku keluarkan amunisiku.’
Ditolehnya lagi sekitarya, kembali memastikan bahwa benar-benar tidak ada musuh yang melihatnya. Setelah keadaan dirasa cukup aman, perlahan-lahan dikeluarkannya amunisinya.
Tangannya terjulur ke kantong celananya, dirasakannya sebuah amunisi – yang pasti akan sangat membantunya – lalu ditariknya keluar dari kantong celananya. Sial! Kenapa dia memakai seragam yang ini? Bukankah seragam ini kekecilan? Celananya sangat ketat menempel di pinggulnya, amunisi jadi sulit dikeluarkan. Dengan usaha yang keras, dia berhasil menarik amunisi sampai di ujung kantong celananya.
Berhasil! Amunisi telah keluar dari kantong. Tapi, oh tidak! Amunisi yang lain juga ikut keluar tanpa perkiraan sebelumnya. Sial, amunisi itu jatuh. Pemuda itu menoleh ke sekitarnya, keadaan masih aman, musuh tidak memperhatikan. Lalu diambilnya amunisi yang jatuh tanpa perkiraan itu.
Dia menghela nafas lega, keadaan masih aman. Dibukanya amunisi itu untuk digunakannya...
“Erwin!”
Sebuah suara tidba-tiba terdengar dari belakangnya. Bulu kuduk pemuda itu mendadak meremang, jantungnya berpacu semakin cepat. Sial! Musuh mengetahui gerak-geriknya. Rencananya bisa gagal. ‘Apa yang harus ku lakukan?!’ pikirnya panik. Dalam hitungan tidak sampai sedetik, mukanya telah berubah menjadi sepucat mayat.
Orang itu berjalan ke depannya, memandang tepat ke mata pemuda itu. Pemuda itu belum sampai pada tahap peluncuran amunisi, tapi orang itu – yang juga musuhnya – telah mengetahui rencananya. Dia merasa telah kalah.
“Apa itu?” teriak musuhnya dengan sangat keras. Tidak! Dia benar-benar telah kalah sekarang.
“Ehm..kerpe’an, Pak.”
“Keluar kamu sekarang! Ujian fisikamu dinyatakan gagal! Cepat ambil tasmu dan keluar dari ruang ujian!”
Dengan lemas, pemuda itu mengambil tasnya yang berada di dekat pintu dan keluar kelas. Dia sangat menyesal, kenapa dia tidak memperhatikan? Dia lupa kalau ada dua pengawas untuk ujian kali ini.
‘Tidaaaaaakkk!!!!! Amunisi yang sudah ku persiapkan semalam suntuk, akhirnya tidak berguna! Kenapa aku bisa tidak sadar kalau orang itu melihatku? Sial! Sial! Sial!’
“Hei, ketahuan juga, ya?” Sebuah suara yang familiar terdengar dari lantai. Pemuda itu menoleh kearah sumber suara, dilihatnya temannya yang bersama membuka pintu gerbang tadi pagi.
Pertanyaannya: Kenapa dia tersenyum???

0 komentar:

 

Leeya.woncoco Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template