Jalan Hidup

Chika membuka lemari es di sudut ruangan. Hawa dingin mengalir dari dalam lemari itu. Namun, kerutan di dahinya tak juga meregang. Diambilnya botol sirup lychee dan dituangnya ke dalam gelas. Kemudian diisinya gelas itu dengan air dingin dari botol di sebelah botol sirup tadi. Diaduknya sebentar larutan itu, lalu diminumnya, seteguk demi seteguk, sampai habis.
Sensasi dingin merayapi seluruh tubuhnya, tapi belum cukup untuk meregangkan kerutan di dahinya dan menyegarkan kembali pikirannya. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding, dan mengenang kembali masa-masa akhir SMA-nya dulu.
***
Kamu mau ngelanjutin kemana nanti, Chika?
Kelas tiga SMA, Chika sering sekali mendengar pertanyaan itu ditujukan padanya. Tapi, dia hanya bisa menjawabnya dengan ragu, “nggak tau.”
Tapi di kamar, di jalanan pulang, di kelas, bahkan di kamar mandi pun, Chika selalu memikirkan pertanyaan itu. Sering dia merenungkan masa depannya, ‘akan jadi apa aku nanti ya?’ Pernah suatu kali dia melihat poster beasiswa pendidikan dari sebuah bank swasta. Lalu pikirannya mulai menjelajah, ‘apa aku jadi pegawai bank ya? Kata orang, gajinya besar.’ Ketika dilihatnya sebuah poster pendidikan pramugari, langsung saja dia membayangkan dirinya, dengan rambut terikat rapi di belakang, memakai baju merah rapi, dan rok panjang dengan belahan sampai paha. Dia tidak kuat membayangkannya. ‘Terlalu seksi,’ begitu pikirnya.
Inas, sahabatnya, juga mengalami hal serupa dengannya. Kata orang, keadaan ini disebut madesu (masa depan suram). Kegiatan mereka yang biasanya jalan-jalan menyusuri kota berdua, sekarang menjadi merenung di taman kota berdua. Suatu hari, seorang teman mereka, Ali, menemukan dua onggokan manusia kebingungan ini, dan menyapa mereka.
“Assalamualaikum, Chika, Inas. Sedang apa kalian?” tanya Ali sopan. Maklum, dia memang pelajar ‘baik-baik’, aktif di rohis sekolah, sering mengisi kajian islam juga. Tapi, yang ditanya masih saja bengong, belum sadar kalau ada orang di depan mereka.
“Assalamualaikum..? Chika? Inas? Kalian baik-baik saja?” Ali bertanya lagi, kali ini sambil menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah kedua gadis itu. Tetap tidak ada respon. Tentu saja, kedua gadis itu sedang asik melamun.
“Kalian sedang memikirkan akan melanjutkan kuliah dimana, nanti?” Tanya Ali. Spontan, mata kedua gadis itu menatapnya tajam. Ali terkejut, dan segera berkata, “Akan lebih baik jika kalian sholat istikharoh, agar jalan kalian dimudahkan oleh Allah. Saya pergi dulu. Assalamualaikum.”
“Hahahaaaa...” tawa kedua gadis itu pecah.
“Liad gag, gelagapan banget si Ali tadi,” ucap Inas sambil tertawa.
“Hahaa..iya, iya. Masa dia gag tau kalo kita cuman pura-pura ngelamun? ‘Pinter’ amat.. Tuh, dia kesandung batu lagi. Hahahaa...” Chika juga menertawakan Ali, yang kebetulan kesandung batu di ujung taman.
Kedua gadis itu menertawakan Ali, tak henti-henti. Pikiran remaja mereka yang masih nakal, tidak sanggup menerima keberadaan seorang yang – kata mereka sih – sok alim (maaf lho, ya), seperti Ali. Padahal Ali merupakan jagoannya para guru. Tentu saja, kalau seabrek prestasi didapatkannya, mulai dari Ketua Lembaga Islam, anggota tim informatika, juara 1 Olimpiade Kimia se-Jawa-Bali, rangking 5 besar paralel, dan lain sebagainyayang sepertinya kurang pantas kalau disebutkan disini (lho?). Kurang apa, pemuda satu itu? Menurut Inas dan Chika, yang kurang dari Ali adalah, kurang nakal (dasar remaja, sudahlah, biarkan mereka menikmati masa mudanya).
Walaupun Chika dan Inas seringkali merendahkan bahkan mempermainkan teman mereka yang ‘berada pada jalan yang benar’, tapi kali ini berbeda. Sampai di rumah, Chika segera mandi dan mengambil air wudhu, lalu sholat asar. Entah apa yang menggerakkan hati gadis satu ini, sehingga ia menyempatkan untuk bangun dan sholat malam, hal yang baru pertama kali dia lakukan.
Besoknya, di sekolah Chika berpapasan dengan Ali. Chika, yang memang memiliki percaya diri tinggi, berjalan tegak. Berbeda dengan Ali, yang menundukkan kepalanya. Chika tersenyum, ‘masih malu, anak itu,hahaa,,’ pikirnya. Di kelas, seorang temannya bertanya, “Setelah ini, kamu ngelanjutin kemana, Ka?” Chika berpikir sebentar, dan entah angin apa yang menggerakkan bibirnya dan membuatnya mengatakan, “Dokter aja, deh.”
Inas yang mendengarnya, terkejut dan berkata, “Beneran, Ka?” Sedangkan Chika, hanya bisa menanggapinya dengan gumaman. Chika sendiri pun bingung dengan perkataannya tadi, ‘setidaknya, aku bisa menjawab pertanyaan orang-orang,’ pikirnya. Karena dia tahu, banyak kendala yang menghambatnya untuk menjadi seorang dokter. Hal pertama, tentunya adalah kemampuan akademisnya yang tidak terlalu tinggi, bahkan bisa dibilang cukup rendah, terbukti dengan dijulukinya ia – oleh beberapa temannya – sebagai seorang yang lemot. Lagipula, rangking paralelnya selalu diatas 130 (“masih untung gag diatas 180.” Kira-kira begitulah tanggapan Inas dan Chika atas peringkat ini). Selain itu, kemampuan ekonomi orangtuanya, ibunya yang seorang penjahit serabutan, dan ayahnya yang seorang guru SD, tidak akan mampu mencukupi biaya sekolah kedokteran yang sangat mahal itu. Apalagi, dia masih punya dua adik yang masih bersekolah di SMP dan SD.
Bagi Chika, menjadi seorang dokter merupakan impian yang bahkan tidak pernah terpikirkan dan hanya terucapkan untuk menjawab pertanyaan, ‘mau melanjutkan kemana?’ Tapi, bahkan Chika sendiri pun, tidak tau, kenapa semenjak dia mengatakan hal itu, dia jadi rajin belajar. Dia jadi semakin ‘niat’ sekolah. Bahkan dia mampu menembus rangking 30 besar di semester lima.
Mengetahui bahwa dirinya mampu jika dia memang belajar, niat Chika menjadi semakin kuat. Sekarang dia memiliki cita-cita : menjadi dokter. Betapapun mustahilnya impiannya itu, yang jelas dia akan berusaha. Chika tau, orang tuanya tidak akan sanggup membiayainya, seandainya dia mengikuti lembaga bimbingan belajar. Maka, sementara teman-temannya sibuk mengikuti bimbingan belajar sepulang sekolah, dia mengerjakan soal-soal di rumah. Di kelas, Chika juga selalu menempati tempat terdepan. Selain itu, semakin mendekati hari ujian, dia juga berkonsultasi dengan orang tuanya, mengenai cita-citanya itu. Ada sedikit keraguan dari kedua orang tua Chika, tentu saja pertimbangannya adalah biaya yang bejibun itu. Walaupun sedikit ragu-ragu, namun orang tuanya menyetujui niat Chika itu. “Uang itu datangnya dari Allah, kalau memang itulah takdirmu, pasti ada jalan, nak,” kata ibu Chika. Dengan begini, maka bertambahlah semangat Chika untuk mencapai impiannya itu.
Ketika akhirnya, tibalah waktunya untuk ujian masuk perguruan tinggi, Chika ragu-ragu untuk mengisi kolom ‘Pendidikan Dokter’ sebagai pilihan pertamanya. Ribuan pertimbangan, lagi-lagi, berputar-putar di otaknya. Namun akhirnya, pilihan itu mengisi kolom pertama lembar jawabannya.
***
“Hei, ngelamun aja. Gimana hasilnya?” Inas bertanya pada Chika.
Chika menundukkan kepalanya, menatap gelas kosong di genggamannya, dan menghela nafas. “Kamu gimana?”
“Aku keterima pilihan kedua, Ka. Ekonomi,” jawab Inas pelan. Inas tak kuasa bertanya lagi. Dia tau, sahabatnya ini tidak diterima di semua pilihannya.  Inas tau, sahabatnya ini sedang terjatuh, impian besarnya tidak kesampaian, bahkan impian kecilnya yang hanya untuk melanjutkan sekolah pun, tidak kesampaian. Inas juga tau, beban sahabatnya tidak sampai disitu. Sebagai anak pertama, sahabatnya itu harus bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Inas hanya bisa melingkarkan lengannya di bahu sahabatnya itu, dan menepuk-nepuknya, tanpa mengatakan apapun.
Tapi Chika mulai terisak. “Padahal, baru kali ini aku berani bermimpi,” ungkapnya. Inas yang tak tega melihat sahabatnya itu menangis, memeluknya. Chika menangis semakin deras.
“Kamu masih bisa nyoba tes lain kok, Ka. Sabar ya. Yakin deh, bahwa ini adalah jalan terbaik-Nya buat kamu.”
Hingga tiga hari setelah pengumuman itu, Chika masih menangis tiap malam di kamarnya. Dia masih menyesali jalan hidupnya. Dia bingung. Lalu, apa yang harus dilakukannya setelah ini jika dia tidak kuliah? Berbagai tawaran sekolah swasta mengerumuninya. Teman-temannya, guru-gurunya, juga orang tuanya, menyarankan dia untuk bersekolah di sekolah swasta, untuk menjadi sarjana maupun di bidang kekaryaan. Chika tidak pernah memikirkan tawaran itu, bahkan untuk satu detik pun. Tapi ada satu orang yang menawarkan penawaran besar, yang pastinya tidak akan pernah Chika lupakan, sampai kapanpun.
“Assalamualaikum, Chika.”
“Iya, waalaikum salam..”
“Bagaimana ujian nasional perguruan tinggi kemarin? Kamu diterima dimana?”
“Tahun ini, belum rejekiku. Mungkin tahun depan aku nyoba lagi. Kamu sendiri, keterima dimana?”
“Alhamdulillah, aku diterima di Kedokteran.”
“Selamat ya. Kalo kamu, kemampuannya udah gag diragukan lagi deh. Pasti keterima dimanapun kamu ngelamar.”
“Nggak juga. Insya Allah, semoga ini jalan terbaik untukku.”
“Iya.”
“Ngomong-ngomong, masih ada satu lamaran yang belum aku ajukan nih.”
“Kamu kan udah keterima sesuai inginmu. Mau ngelamar kemana lagi?”
“Sebenarnya ada dua lamaran, satu dari aku, satu lagi bisa dibilang penawaran.”
“Mbulet ah, gag jelas banget!”
“Aku bingung harus bilang dari mana.”
“Udah ya, aku mau pulang.”
“Chika! Jangan pulang dulu. Aku mau memberikan penawaran buat kamu.”
“Penawaran apaan?”
“Ayahku mengurus sebuah LSM. Mereka selalu memberikan beasiswa tiap tahunnya untuk lima puluh orang. Lalu, aku mengajukan namamu sebagai salah satu penerima beasiswa itu, dan ternyata disetujui.”
“Kok seenaknya gitu sih?”
“Maaf, Chika. Tapi beasiswa ini luar biasa. Aku harap kamu menerimanya. Beasiswa ini membiayai kamu selama pendidikan sampai menjadi dokter, di fakultas kedokteran milik negara.”
“Wow,, enak banget dong. Tapi, aku kan nggak keterima. Walaupun aku mau menerimanya, tapi aku tidak bisa, kan?”
“Dengan kamu menerima beasiswa ini, kamu sudah terdaftar sebagai mahasiswa di fakultas kedokteran tanpa tes.”
“APA??!!! Kamu pasti bercanda! Terus, aku harus ngasih apa ke mereka?”
“Yang perlu kamu lakukan cuma memberikan loyalitasmu untuk membantu LSM itu.”
Coba tebak, siapa yang berbincang panjang lebar, lama sekali, dengan Chika itu?! Yap, tepat sekali. Dia adalah Ali, teman Chika, yang sering mendapat perlakukan semena-mena (kata ini hanya mendramatisir) dari Chika. Usut punya usut, ternyata Ali sudah melirik Chika sejak mereka kelas dua SMA, waktu mereka berada pada satu kelas.
Sekarang Chika sadar, bahwa Allah adalah Yang Maha Kuasa untuk membolak-balik nasib seseorang, bahwa Allah adalah Yang Maha Adil untuk menentukan nasib seseorang, bahwa Allah adalah Yang Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Chika tidak hanya mendapatkan impiannya, tapi dia juga mendapatkan apa yang belum pernah dia impikan. Satu minggu setelah Ali mengabarinya mengenai beasiswa itu, dia melamar Chika. Walaupun kata orang mereka masih terlalu muda, tidak ada yang dapat menentukan kesiapan selain Allah. Maka, sebelum mereka menempuh jenjang pendidikan yang baru, mereka memutuskan untuk menempuh jenjang hidup yang baru, dan Chika mendapatkan Ali sebagai teman hidupnya.

0 komentar:

 

Leeya.woncoco Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template